Benarkah Aplikasi GoPay, OVO dan GoFood Ada Unsur Riba?
Akhir-akhir ini marak beredar suatu tulisan yang menyinggung bahwa jual beli dengan software GoPay dan GoFood ialah riba. Riba terjadi dampak bersatunya akad utang yang direpresentasikan oleh fitur deposit GoPay dengan diskon.
Gambar oleh William Iven dari Pixabay |
Selanjutnya, ustadz itu merekomendasikan alternatif supaya selamat dari riba pemanfaatan software tersebut, dengan catatan sebagai berikut antara lain:
- Dipersilakan memakai Go-Pay tetapi harus meyakinkan supaya saat membuka tabungan di bank yang terdapat kemudahan Go-Paynya, anda diminta menghilangkan klausa pertambahan atas duit yang ditabung (diutangkan), dan akad tentang ekstra bunga tiap bulannya mesti dihilangkan.
- Dipersilakan memakai Go-Pay tetapi diimbau supaya tidak menerima tambahan guna berupa discount tersebut supaya tidak terjadi riba dalam muamalah Ojek Online dan Go-Pay tersebut.
- Jika tidak dapat menghilangkan diskon atau potongan harga dari Go-Pay, maka dipersilakan mengerjakan pembayaran kontan.
Sebenarnya pengarang sudah pernah membahas permasalahan ini dari sudut pandang literasi fiqih klasik. Perbedaan pengarang dalam urusan ini dan ustadz tersebut sebetulnya pada sisi teknik pembacaan dan teknik menempatkan duduk setiap elemen penyusun Go-Pay dan software sejenisnya.
Ada sejumlah poin yang lepas dari segi pengamatan sang ustadz itu selaku pengkaji di atas, antara lian sebagai berikut:
Fitur Aplikasi
Pertama, di dalam fitur Go-Pay, OVO dan Go-Food, seluruh barang yang dipesan sudah diputuskan harganya oleh perusahaan. Fitur ini sama sekali tidak disebut-sebut oleh ustadz itu melainkan melulu berfokus pada pembacaan bahwa pembeli sudah mengutangi pihak Go-Pay yang selanjutnya ia menemukan imbalan karenanya.Yang benar dalam urusan ini sebetulnya imbalan dari deposit yang ditabung di dalam Go-Pay, atau diskon harga makanan? Jika imbalan berupa potongan harga itu ialah disebabkan diskon harga makanan, kenapa diskon ini jangan diberikan? Padahal harga produk yang dipasarkan sudah jelas.
Sama laksana dengan sekiranya ada seorang saudagar baju dititipi duit oleh rekannya. Kebetulan rekannya itu hendak melakukan pembelian barang baju ke lokasi si saudagar yang dititipinya. Dan saudagar sudah memutuskan bahwa saat tersebut tengah terdapat diskon pembelian buat seluruh pelanggan.
Lantas, si teman yang tengah perlu baju tadi melakukan pembelian apa yang diperlukannya ke saudagar tersebut sampai-sampai ia berhak menerima diskon dari pedagang, apakah diskon semacam ini di anggap sebagai riba? Tentu tidak, bukan?
Bukankah pula dana yang dititipkan tersebut tergolong akad wadi’ah. Sebagaimana deposit yang ada dalam fitur Go-Pay yang lantas dibahasakan oleh sang ustadz sebagai bank ialah juga mengekor prinsip akad wadi’ah yadu al-dhammanah (akad titip dengan garansi keamanan nilai) ini?
Inilah uniknya. Semua urusan yang krusial malah tidak menemukan sorotan oleh pengkaji pada artikel tersebut.
Akad
Kedua, akad wakalah diperbanyak imbalan untuk pihak driver tidak menjadi dasar pertimbangan utama sang pengkaji dalam artikel tersebut. Ia menilai bahwa si driver sudah mengutangi terlebih dahulu pihak konsumen untuk melakukan pembelian barang, kemudian barang yang telah ada di tangannya dipasarkan kembali dengan memungut keuntungan.Ia menyinggung akad ini sebagai akad jual beli yang digabung dengan pesan. Selisih harga beli dari toko dengan harga yang diserahkan kepada konsumen driver di anggap sebagai riba karena hal utang piutang tersebut.
Sang pengkaji di sini tidak menyaksikan sama sekali, apakah utang itu adalahyang dikehendaki oleh konsumen ataukah tidak? Bukankah utang tersebut adalahhal yang sebetulnya tidak dikehendaki oleh konsumen?
Andaikan pihak yang dipesani telah datang dengan membawa barang yang dipesan, pasti pihak pemesan pun pun ada garansi untuk membayarnya. Yang menjamin ialah undang-undang perlindungan produsen dan konsumen.
Keberadaan Undang-Undang ini disusun disebabkan ada hal relasi yang mesti dipastikan seiring perlindungan konsumen dan produsen yang ketika transaksi tidak mengenal satu sama beda dan mesti terdapat perusahaan beda yang bergerak menjadi wasîlah (perantara) salah satu keduanya.
Sebuah ilustrasi, terdapat seorang pembeli hendak membeli sesuatu di pasar. Lalu ia bertemu dengan pengendara sepeda motor yang ditemuinya di jalan supaya sudi membelikan kebutuhannya.
Lalu, tanpa adanya garansi apa juga ia memberikan sejumlah uang untuk pemilik kendaraan tersebut. Amankah kira-kira model transaksi semacam ini? Tentu tidak, bukan? Berbeda, bilamana si empunya kendaraan bermotor itu ialah pihak yang sedang di bawah suatu koordinasi perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa lantas proses titipnya melalui mekanisme tertentu yang disepakati keduanya.
Ketidak amanahan duta perusahaan yang ditugaskan mewujudkan pesanan konsumen, bakal menjadi bisa dipertanggungjawabkan seiring ada garansi dari perusahaan yang mengoordinasinya. Karena bagaimanapun, lancarnya orderan perusahaan, sampai-sampai berbuah pada deviden perusahaan ialah bergantung pada bagaimana pelayanannya untuk konsumen. Sebagaimana suatu qaidah:
Artinya, “Output (untung-rugi) ialah berbanding lurus dengan risiko (bagaimana perusahaan menerapkan jaminan pelayanannya).”
Utang konsumen adalahimbas samping dari pemakaian software saat pemakai jasa software Go-Pay, OVO dan Go-Food mengerjakan deal pemesanan makanan dengan harga yang telah tertera. Jadi, hingga di sini, seharusnya berlaku kaidah fiqih bahwasanya:
Artinya, "Akad bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dan juga makna yang terkandung di dalamnya, dan bukan sekadar ucapan dan juga ungkapan.”
Keharusan memerinci satu per satu supaya tidak mengisi unsur jahâlah dalam jual beli malah dapat berujung pada mempersulit konsumen dan dapat menambah cost (biaya) yang dikeluarkannya. Kesulitan semacam ini tergolong bagian dari mafsadah yang mesti dihindari, sebagaimana kajian anda dalam maqashid Imam Anas bin Mâlik yang sudah kita lewati terdahulu.
Prinsip yang mesti dipertahankan produsen ialah semakin tidak sedikit konsumen mengerjakan order, semakin tidak sedikit pula deviden yang ia dapatkan. Sebaliknya, semakin tidak banyak konsumen mengerjakan order, semakin tidak banyak pula deviden yang diterimanya.
Agar tidak sedikit mendapatkan order, maka ia mesti amanah, sebagaimana urusan ini ialah praktik yang diamini oleh syariat. Wallâhu a’lam bi al-shawâb.
Sumber: Nu.or.id (21/12/18)
Ustadz M Syamsudin- Pengasuh Pesantren Hasan Jufri Putri Pulau Bawean
Artikel Ini telah diedit dalam bahasa penulis, jika ada kekeliruan dan kesalahan dalam penulisan mohon untuk melihat sumber asli tulisan ini. Trimakasih.