APAKAH RASULULLAH SAW. PERNAH MENIKAH DENGAN NON-MUSLIM?

Pertanyaan: Bagaimana tafsir QS. aI-Ma’ idah [51:52] Apakah Rasulullah SAW. pernah menikah dengan non-Muslim?
pernikahan-nabi
QS. al-Ma'idah [5]: 5 antara lain menyatakan, (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatannya di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatannya di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu.
Sebagian ulama berpendapat bahwa ayat ini pada dasarnya telah membenarkan perkawinan pria Muslim dengan wanita Ahl al-Kitab, tetapi ketentuan tersebut telah dibatalkan oleh firman Allah swt. dalam QS. al-Baqarah [2]: 221 yang melarang perkawinan dengan orang musyrik.

Sahabat Nabi saw., Ibnu (Umar ra., menegaskan bahwa, “Saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dari pada kemusyrikan seseorang yang percaya bahwa Tuhannya adalah “isi atau salah seorang hamba Allah.” Pendapat ini tidak didukung oleh mayoritas sahabat Nabi. Mereka tetap berpegang pada ayat al-Ma'idah di atas karena walaupun akidah Ahl al-Kitab tidak sama dengan akidah Islamiah, tetapi al-Qur’an membedakan mereka dengan kaum musyrik, dengan penamaan “Ahl al-Kitab” (QS. al-Bayyinah [98]: 1).

Larangan perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda ini agaknya dilatar belakangi oleh keinginan menciptakan sakinah dalam keluarga yang merupakan tujuan perkawinan. Sakinah baru tercapai jika terdapat kesesuaian pandangan hidup antara suami dan istri. Jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya bahkan tingkat pendidikan pun tidak jarang menimbulkan kegagalan perkawinan. Akan tetapi, perlu dicatat bahwa walaupun ayat ini membolehkan perkawinan antar pria Muslim dengan wanita Ahl al-Kitab, izin ini adalah sebagai jalan keluar dari kebutuhan mendesak ketika itu, yaitu ketika kaum Muslim sering bepergian jauh untuk melaksanakan jihad tanpa mampu kembali ke keluarga mereka dan juga untuk tujuan dakwah.

Bahwa wanita Muslim tidak diperkenankan kawin dengan pria non-Muslim, baik Ahl al-Kitab maupun lebih-lebih kaum musyrik di. sebabkan oleh mereka tidak mengakui kenabian Muhammad SAW. Pria Muslim mengakui kenabian Isa serta menggaris bawahi prinsip toleransi beragama, lakum di‘nu kum wa liya din (untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku). Pria yang biasanya, bahkan seharusnya, menjadi pemimpin rumah tangga, dapat mempengaruhi istrinya sehingga bila suami tidak mengakui ajaran agama yang dianut sang istri, dikhawatirkan akan terjadi pemaksaan beragama, baik terang-terangan maupun terselubung.

Selanjutnya, perlu digarisbawahi redaksi al-muhshanat (wanita-wanita yang menjaga kehormatan). Ini merupakan isyarat bahwa yang boleh dikawini adalah wanita-Wanita yang menjaga kehormatannya. Di sisi lain, didahulukannya penyebutan wanita-wanita Mukmin, baru disusul wanita Ahl al-Kitab memberi isyarat bahwa wanita Muslimlah yang seharusnya didahulukan.

Akhirnya, ditutupnya surah al-Ma'idah [5]: 5 yang menghalalkan sembelihan Ahl al-Kitab dan perkawinan pria Muslim dengan wanita Yahudi dan Nasrani dengan ancaman barang siapa yang kafir sesudah beriman, maka hapuslah amalannya dan seterusnya, merupakan peringatan kepada setiap yang akan makan dan atau merencanakan perkawinan dengan mereka agar berhati-hati jangan sampai hal tersebut mengantar pada kekufuran karena akibatnya adalah siksa akhirat nanti.

Di sisi lain, juga ditempatkannya ayat-ayat tersebut sesudah pernyataan keputusasaan orang-orang kafir dan sempurnaan agama Islam, maka dapat berarti memberi isyarat bahwa dihalalkannya hal-hal tersebut, antara lain, karena umat Islam telah memiliki kesempurnaan tuntunan agama dan karena orang-orang kafir sudah semakin lemah sehingga telah berputus asa untuk mengalahkan kaum Muslim atau memurtadkannya. lni-sekali lagi menunjukkan bahwa izin tersebut bertujuan pula menampakkan kesempurnaan Islam serta keluhuran budi pekerti yang diajarkan dan diterapkan oleh suami terhadap para istri penganut agama Yahudi atau Kristen itu tanpa harus memaksanya untuk memeluk Islam.

Atas dasar keterangan di atas, sangat pada tempatnya jika dikatakan bahwa tidak dibenarkan menjalin hubungan perkawinan dengan wanita Ahl al-Kitab bagi yang tidak mampu menampakkan kesempurnaan ajaran Islam, lebih-lebih yang diduga akan terpengaruh oleh ajaran non-Islam, yang dianut oleh calon istri atau keluarga calon istrinya. Itu juga sebabnya sehingga Rasul SAW. tidak pernah menikah dengan wanita yang bukan Muslimah. Memang, ada di antara istri beliau yang tadinya  bukan Muslimah, tetapi begitu menikah, dia memeluk Islam.
Demikian, wallahu a “lam.

Sumber : Buku 1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui (hal:739)
M. Quraish Shihab

Subscribe to receive free email updates:

Bisnis Properti Smartphone Murah