Hukum Sholat Arba'in Di Masjid Nabawi Madinah
Pertanyaan: SHALAT ARBA‘IN- Bagaimana sebenarnya persoalan shaIat empat puluh kali (arba'in) di Masjid Nabawi Madinah? Mohon penjelasan tuntas dari Ustadz, dan bagaimana sebaiknya sikap kita dalam hal itu? Sebab, sering kali pelaksanaannya dipaksakan sehingga menimbulkan kesulitan-kesulitan. Hukum Sholat Arba'in Di Masjid Nabawi Madinah berikut penjelasan selengkapnya.
Gambar oleh mohamed Hassan dari Pixabay |
Tidak dapat disangkal bahwa amat banyak hadits Nabi saw. yang menguraikan keutamaan Masjid Nabawi serta ganjaran shalat di Masjid itu. Tetapi, hadits yang berbicara tentang ganjaran shalat empat puluh kali di Masjid itu tidak ditemukan dalam al-Kutub as-Sittah atau al-Shihah as-Sittah (Enam Kitab Hadits Sahih atau Standar).
Baca Juga : Hukum Non-Muslim Masuk Ke Dalam Masjid
Memang, hadits tentang ganjaran shalat empat puluh kali (arba'in) di Masjid Nabawi ditemukan dalam beberapa kitab hadits, tetapi semua merujuk kepada dua sumber, yakni kitab hadits Musnad Ahmad (jil. III, hlm. 155) karya Imam Ahmad bin Hanbal dan al-Mu'jam al Awsath (jil. II, hlm. 32) karya ath-Thabarani.
Kedua sumber ini menyajikannya dengan satu jalur yang sama, yakni dari seseorang bernama al-Hakam bin Musa, yang katanya meriwayatkan dari 'Abd ar-Rahman bin Abu ar-Rijal, dari Nubayth bin 'Umar ('Amr), dari Anas bin Malik, dari Rasulullah saw. yang bersabda,
“Barang siapa mengerjakan empat puluh shalat di masjidku dan tidak ketinggalan satu shalat pun, maka tercatat baginya (dia memeroleh hak) pembebasan dari neraka, keselamatan dari .siksa, dan terbebas dari kemunafikan. ”
Ath-Thabarani menegaskan bahwa hadits ini hanya diriwayatkan dari Anas oleh Nubayth bin 'Amr. Demikian juga pada tingkat Abu arRijal. Yang memprihatinkan adalah bahwa Nubayth bin “Amr tidak dikenal sebagai seorang perawi hadits. Dia hanya meriwayatkan satu hadits ini saja.
Baca Juga : Apakah RASULULLAH SAW. Pernah Menikah Dengan Non-Muslim?
Karena itu, dia dinilai oleh ulama hadits sebagai seorang yang tidak dikenal (majbdl), dan penilaian semacam ini menjadikan hadits yang diriwayatkannya lemah (dhaif). Penilaian atas kelemahan hadits ini dikemukakan oleh banyak ulama. Salah seorang di antaranya adalah Nashir ad-Din al-Albani dalam kitabnya Silsilah al-Alhadits al-Dhai'fah al-Mawadhu'ah (jil. I, hlm. 634).
Memang, al-Mundziri dalam at Targhib wa at-Tarhib (jil. II, hlm. 215) mengemukakan bahwa perawi-perawi yang digunakan Imam Ahmad dalam hadits ini adalah para perawi kitab-kitab sahih. Namun, seperti dikemukakan di atas, hadits ini hanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan ath-Thabarani, dan Nubayth bin 'Amr hanya meriwayatkan satu hadits ini saja.
Baca Juga: Hukum Bekerja Di Bank Konvensional Menurut Islam
Jadi, bagaimana mungkin dia menjadi perawi kitab-kitab sahih? Dalam Majma' az-Zawa 'id, al-Haytsami juga menyatakan bahwa perawi-perawi hadits ini dapat diterima periwayatannya (tsiqah), tetapi pandangan ini juga perlu diluruskan.
Al-Haytsami biasanya mengambil penilaian yang bersumber dari Ibnu Hibban dalam kitabnya AtsTsiqah, sedangkan ulama ini dikenal mempunyai kaidah penilaian tersendiri, yakni mencantumkan dalam kitabnya itu orang-orang yang tidak dikenal identitas atau keahliannya dalam bidang hadits. Seakan-akan hal itu (al-jahalah) belum cukup untuk menetapkan tertolaknya riwayat seseorang.
Baca Juga: Inilah Keinginan Nabi Muhammad SAW Yang Belum Tercapai Hingga Wafat
Kaidah semacam ini jelas bertentangan dengan kaidah umum para ulama hadits. Tetapi, memang demikian itulah cara Ibnu Hibban, sehingga wajar saja jika dia memasukkan nama Nubayth dalam kitabnya yang menghimpun orang-orang yang dapat diterima riwayatnya.
Sebenarnya, ada satu riwayat lain yang bernilai hasan (hampir mencapai tingkatan sahih) yang bersumber dari Imam at-Tirmidzi (jil. II, hlm. 7) yang boleh jadi meluruskan kandungan hadits populer di atas. Riwayat itu berbunyi:
“Barang siapa mengerjakan shalat jamaah selama empat puluh hari karena Allah dan mendapati takbir pembukaan ( takbirah al-ihram), maka dicatat baginya dua kebebasan: kebebasan dari neraka dan kebebasan dari kemunafikan.”
Dari sini jelas sudah bahwa hadits yang menjadi pegangan untuk melakukan shalat arba‘in adalah hadits yang lemah (dhaif). Tidak sedikit jamaah haji, dan bahkan ulama, yang melaksanakan kandungan hadits shalat arba'in yang populer tetapi lemah ini.
Ini disebabkan ada saja sebagian ulama yang membolehkan mengamalkan hadits dha'if tertentu seperti di atas. Sebab, bukankah terdapat banyak anjuran untuk melakanakan shalat jamaah, apalagi di Masjid Nabawi? Kalau demikian, sahih-tidaknya hadits itu tidak banyak berpengaruh bagi mereka.
Baca Juga: Perumpamaan Perempuan Berjilbab Dan Tidak Berjilbab
Memang, boleh jadi, pelaksanaannya menyulitkan. Dalam konteks ini, perlu dipelajari kandungan hadits di atas sehingga siapa saja yang ingin mengamalkannya tidak mengalami kesulitan.
Seperti terbaca di atas, pelaksanaannya tidak dikaitkan dengan imam tertentu, bahkan tidak dengan mendapatkan takbirah al-ihram. Ini memberi peluang untuk melaksanakannya tanpa harus mengikuti imam tetap (ratib) Masjid Nabawi selama dilaksanakan berjamaah, walaupun pada akhir waktunya dan dengan siapa saja di Masjid Nabawi.
Sumber : Buku 1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui (Hal:18)
M. Quraish Shihab